Masihkah?
Melihatmu lagi, sudah berapa lama kita
terpisah ?
Lama, lama sekali. Lihat dirimu
sekarang, cantik. Tinggimu dulu sebahuku, tapi kini aku harus sedikit menoleh
keatas jika ingin menatap matamu. Apalagi, lebih gemukan? Nggak sih, lebih
berisi tepatnya. Seingatku dulu kamu kurus, itu yang membuat kamu begitu lincah
dan penuh semangat menjalani hari-harimu.
Melihatmu lagi, membuatku terpaksa
harus mengingat lagi mimpi-mimpi kecil kita dulu. Mimpi yang ingin kita
wujudkan bersama. Mimpi yang terdengar konyol, tak masuk akal, yang akan
ditertawakan sebagai celotehan seorang anak kecil bagi mereka orang-orang
dewasa. Heeh...Orang dewasa tahu apa tentang mimpi-mimpi kita. Mereka kan hanya
sibuk memikirkan hal-hal yang rumit dan membosankan, itu pendapatmu dulu.

Melihatmu lagi. Waktu seakan melemparku jauh. Memutar kembali memori ketika
kita berlarian di tepian sungai dulu. Kamu begitu khawatir melihat luka di
kakiku setelah aku jatuh terpeleset. Seketika itu juga kamu bermimpi menjadi
seorang perawat agar bisa merawatku ketika aku sakit dan terluka. Sedangkan
buatku, menjadi suami seorang perawat sepertimu pun sudah cukup. Aku mengangguk dengan senyum tipis, senyum senang atau ekspresi kesakitan? sama saja.
Masih ingatkah
kamu dengan pesawat kertasmu?
Ratusan pesawat kertas yang yang bergantungan di kamarmu menjadi bentuk
kekagumanmu pada sosok Habibie, sosok yang membuat engkau berani bermimpi
menjadi perancang pesawat perempuan pertama dari Indonesia. Aku tidak tahu apa
ada hubungan antara menjadi perawat dengan membuat pesawat, yang jelas kamu
begitu tertarik dengan tempat Habibie menuntut ilmu. Jerman dan segala hal
tentang Jerman. Sekarang aku berpikir, bagaimana gadis kecil sepertimu bisa berpikir sejauh itu dulu. Tapi tenang, aku masih ingat kata-katamu tentang mimpi kita untuk
belajar di Jerman bersama sama kelak.
Delapan tahun berlalu. Aku pulang peri
kecilku, aku pulang. Masihkah engkau menungguku?
Masihkah?
Komentar
Posting Komentar