Cinta Platonis

Aku tak pernah benar-benar menyalinnya. Aku hanya senang membaca tulisannya, mencoba membaca karakter dia dari tulisannya, menyimak curhatan kecil tentang pelajaran yang dia ikuti, tentang rasa kantuknya di kelas dan hal- hal kecil yang dia coba tuliskan di bukunya. Mungkin terdengar aneh, tapi yang pasti hal itu hanyalah sebuah alasan agar aku bisa terus dekat dengan dia. Sebuah alasan agar aku bisa terus menyapanya.

Ya...dia adalah gadis istimewa itu. Sudah hampir 2 tahun aku mengenalnya. Dan sejak pertama kali melihatnya, aku langsung tahu bahwa hatiku telah memilihnya. Sejak itu pula aku mulai menata hatiku, menyiapkan tempat khusus di dalamnya yang akan ditempati olehnya. Hari-hari yang kami lalui bersama membuat aku semakin bergantung padanya. Dia seperti charger ketika semangat kuliahku mulai drop, menjadi aspirin ketika rasa sakit menerpaku, dialah orang yang bersedia mendengarkan argumen-argumen konyolku. Banyak hal yang membuat dia begitu dekat dan berarti bagiku. Entah bagaimana dia memandangku, tapi begitulah dia di mataku.

            “Ulfa..!” Aku terpogoh-pogoh memangilnya sambil berlari mendekat. Dia menolehku disertai senyum simpulnya.
“Kenapa Gy? Mau pinjam catatan lagi ya...kamu ini ngga bisa jadi anak rajin sehari aja” Ulfa mengambil buku catatannya dengan mulut yang masih saja bicara.
“Kamu ngga tahu aku saja Fa, bukan Egy namanya kalau sudah rajin bikin catatan ” Jawabku dengan nada bercanda.
Hari itu seperti halnya hari biasanya, berawal dari meminjam catatan berlanjut ke canda gurau penuh tawa. Rutinitas yang terlihat biasa, tetapi bagiku indah dan penuh makna.
.....
Perpustakaan tampak sepi. Hanya beberapa mahasiswa sastra yang tampak sibuk mencari bahan tulisan. Tampak juga seorang mahasiswa semester akhir sedang sibuk bergumul dengan laptopnya, wajah seriusnya sudah menggambarkan apa yang sedang ia kerjakan. Hal yang juga akan aku hadapi di akhir masa studiku nanti.
Aku duduk agak jauh dari meja pustakawan yang berada tepat di depan pintu perpus. Dengan gaya sok serius aku sibuk sendiri menyalin materi pagi ini, sementara Ulfa tampak sibuk memainkan tabletnya.

“Kenapa mesti statistik sih Fa ?”
“Hah..knapa Gy ? ” ulfa tampak kaget dengan pertanyaanku.
“Kamu ini, malah asik online sendiri, bantuin dong!” aku agak sedikit ketus.
“Maaf gy” Ulfa memasang wajah memelas. Di taruhnya tablet yang sedari tadi di pegangnya.
“Kamu sih serius banget nulisnya, akunya di cuekin”
“Ye...kamu sendiri yang bilang harus konsentrasi kalau belajar”. jawabku dengan alis yang sedikit terangkat.
“Iya maaf Egy” tatapan memelas itu tampak lagi di matanya, menuju mataku. Suasana sejenak hening. Jantungku bergetar hebat, helaan nafas berderu lebih cepat dari biasanya.
            “Fa, aku cinta sama kamu, bisakah kamu menghabiskan sisa usiamu bersamaku, kamu tahu, salah satu hal terbaik dalam hidupku adalah bisa bersamamu”. Setidaknya tatapan mataku berkata seperti itu, tapi tidak mulutku. Aku hanya memasang senyum polos.
Pengecut memang, tapi aku sudah nyaman seperti ini. Walau kadang terasa sakit, tapi akan lebih sakit jika ia berubah membenciku jika aku mengungkapkan perasaanku, sementara dia tidak memiliki rasa seperti rasaku.

            “Woi...Gy...!”
            Dari depan meja pustakawan seorang pria melambaikan tangannya.
            “Ayo pulang, aku ada janji sama anak-anak pertanian nih”
            “Bentar Ru, bentar lagi kelar kok ”
Heru datang, saatnya pulang. Kita memang terbiasa pulang bersama, sejak sekolah menengah pertama tepatnya. Dia adalah sahabat terdekatku. Baik buruknya aku dia tahu, pun sebaliknya. Tentang rasa cinta ku pada Ulfa ? hemmm...itu sudah menjadi ledekannya hampir setiap hari.
....
“Egy...”
“Alihkan lah pandanganmu, ia bahkan tak pernah memandangmu....”
“Untuk apa terus menatapnya...”
Kami berdua kompak memandang ke arah yang sama. Di shelter bus didepan kampus tampak berdiri beberapa mahasiswa. Mereka tampak asik ngobrol sambil beberapa kali melihat ke ujung jalan memanti bus yang akan mengantar mereka pulang datang.

“Entahlah Ru, aku juga tak tahu mengapa aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya”

Sejenak suasana menjadi hening. Tampak Heru sedang mencoba mengatur kata.
“Apa yang kamu tunggu Gy....?.” suaranya memecah keheningnan. 
“Menunggu dia datang padamu, membawa seikat bunga dan berkata “Egy, I love you?”
“Jika memang harus begitu, kenapa tidak?” Ada raut ragu di wajahku.
 “Come On Egy...bangun dari tidurmu...”
Heru memberi tepukan semangat di pundakku.
“Perlu kamu tahu Egy sahabatku”
“Jika kamu mencintai seseorang, beranikan dirimu untuk mengungkapkan perasaanmu”
“Jika tidak, beranikan juga dirimu melihat ia dicintai orang lain”. Ucapannya seolah ia pernah mengalaminya dan aku sendiri seperti setuju dengan kata-katanya.
Aku yang selalu merasa cemburu ketika melihat Ulfa dekat dengan seorang pria. Seperti ada letupan atom di jantungku. Letupan yang setiap saat dapat meledak, dan perasaan itu sangat menyiksaku. Sayangnya rasa sakit itu belum mampu mendorong keberanianku untuk mengungkapkan padanya bahwa telah ku siapkan ruang khusus untuknya di hatiku.
Tak berselang lama sebuah bus datang. Shelter bus yang tadi tampak ramai menjadi sepi seiring dengan laju bus. Kali ini aku mulai bisa fokus bercerita dengan Heru. 
“Rasanya berat Ru” aku mencoba menyambung pebicaraan kami yang sempat terputus.
Heru tampak sependapat denganku. “Memang berat...tapi memang seperti itu hukumnya”
“ Tapi... ”
“Apa lagi ?” dengan cepat dipotongnya kesempatanku untuk berargumen.
“Menunggu moment yang tepat ?”
“Hei, moment bukan untuk ditunggu, kita sendiri yang harus ciptakan”
“Lantas bagaimana dengan jawabanya ?” dari pertanyaanku tergambar sebuah keraguan besar.
“Begini, kadang sakit ditolak tak seberapa jika dibanding dengan sakit saat melihat dia dicintai pria lain hanya karena kita yang terlambat menyatakan perasaan kita”
“Semua terserah kamu Gy...”
“Yang terpenting...lakukan yang terbaik, soal hasilnya itu hanyalah hadiah dari seberapa besar usahamu...”
“Sudahlah Ru, aku sudah cukup bahagia melihatnya bahagia” aku mencoba menunjukan senyum tegarku.
“Hmmm....” senyum heru terlihat aneh kali ini. Seperti mengejek ucapanku.
“Kamu lucu Gy,”
“Kamu sudah merasa cukup bahagia dengan melihat dia bahagia?” Heru membalik kata-kataku.
“Tapi kenapa bukan kamu sendiri yang mencoba membuat dia bahagia?” kata- kata itu menohok tepat ke jantungku.
“Cukup...!, aku tak mau membahas ini lagi”. Suaraku agak meninggi.
“Seberapa besar cintaku, seberapa dalam rasa sayangku biar aku sendiri saja yang tahu”. Aku beranjak sambil meraih tas punggungku.
 “Bagaimana dengan ulfa ? Tidakkah kau terlalu egois dengan menyimpan perasaanmu itu ?” Dari nada bicaranya heru terlihat kesal dengan sikapku.
“Biarlah kami tetap seperti ini Ru”. Ku tegapkan langkah meninggalkan Heru duduk sendiri. Tak berselang lama dia beranjak mengejar dan langsung merangkulku.

“Pernahkah kamu mendengar kata Cinta Platonis Ru”
“Makanan apa tuh Gy”, Kami saling memandang. Tak berselang riuh gelak tawa memecah senja kemudiam terbawa lenyap bersama sang mentari senja.

Cinta platonis, seperti itulah cintaku pada Ulfa, cinta yang tak harus memiliki raganya. Aku yang mencintainya bukan karena alasan yang bisa ku jelaskan lewat puisi atau bahasa sastra yang indah. Yang ku tahu, aku mencintainya karena dengan sendirinya tiba-tiba aku mencintainya atas dasar keseluruhan yang ada pada dirinya. Keseluruhan dirinya yang tidak bisa aku jelaskan dengan alasan apapun. Walau kadang juga terasa sakit, tapi begitulah caraku mencintainya.

Komentar

  1. asyiiik, biar sakit tapi tetap cinta

    BalasHapus
  2. cinta memang begitu menggoda selanjutnya mari berdoa hehehe
    salam kenal sob yuli

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIBOLGA SQUARE...

Mikir Ideal

Nono & Nini : Mitos Pecahnya Sebuah Gelas