Mikir Ideal


Foto waktu libuan, tak ada kaitannya dengan isi conten, :)
23 februari 2017, dikarenakan tuntutan persyaratan registrasi S-2, saya harus buru-buru datang ke puskesmas untuk mengurus surat keterangan sehat dan bebas buta warna. Hari ini harus bangun pagi (bagi banyak orang jam 09.00 sudah tidak pagi lagi) mengingat kemarin saya harus pulang dengan tangan hampa karena pendaftaran pemeriksaan sudah ditutup.
***
Ambil nomor antrean, kerut dahi, hela nafas agak panjang...Antre lama.
Sebagai generasi millenia, agak aneh kalau nunggu antrean lama sementara tangan kosong tanpa gadget apapun. Kalian pasti tahu bagaimana perasaan saya selama hampir satu jam menunggu panggilan pendaftaran.
Masuk ruangan, sempat jengkel pula saat ada sebutan ibu di depan nama saya.
Duduk. Ngobrol sebentar sama dokternya sambil ibu suster pasang alat tensi darah di lengan kanan saya...saya lupa nama dokternya, apalagi susternya.

Beberapa saat setelah cek tensi darah, saya dipersilahkan untuk menimbang berat badan pada timbangan pijak yang ada di dalam ruang dokter. Agak terkejut waktu lihat jarum penunjuk berada tepat di tengah diantara angka 60 dan 70. 65 kilo adalah berat badan saya.
Entah karena apa, pada momen tersebut tiba-tiba saya teringat tentang rumus menghitung berat badan dan tinggi badan ideal atau proporsional. Saya sih belum tahu tentang benar tidaknya rumus ini, akan tetapi sudah terlanjur muncul sebuah pertanyaan dalam batin saya, “ dengan berat badan 65 kilo tinggi ideal saya seharusnya adalah 65 + 110 sehingga muncul angka 175. Katanya seperti itu rumus hitugnya. Tinggi badan ideal saya (harusnya) adalah 175 cm, sementara tinggi badan saya sebenarnya adalah...163 cm. Tepok jidat!

Jika dihitung lagi, 175-163 sama dengan 12 sentimeter. Artinya, saya mempunyai tugas berat untuk menambah tinggi badan sepanjang 12 sentimeter. Hampir mustahil setelah ingat umur saya yang sudah melewai masa pertumbuhan tulang dan gigi. Bagi sebagian orang mungkin bisa diakali dengan menggunakan alat peninggi badan yang banyak dijual di pasaran. Ada juga iklan obat ataupun terapi yang menjanjikan bertambahnya tinggi badan setelah kita mengkonsumsinya. Bagaimanapun itu, berat bung!

Itu adalah pemikiran saya sebelum wisdom itu muncul (hehehe), sebelum angel berbaju putih mengibaskan tongkatnya kepada makhluk merah bertanduk yang seliweran di atas kepala saya. Entah dia menghilang kemana, yang jelas sebuah pertanyaan kemudian muncul, “Kenapa saya harus pusing ria memikirkan cara menambah tinggi badan agar menjadi ideal, sementara saya bisa saja mengurangi berat badan saya sekitar 12-15 kilo agar bisa memperoleh berat dan tinggi badan yang “ideal”.

Dari pemikiran ini saya tersadar bahwa hidup harus realistis, setidaknya bisa berfikir mana yang mungkin dan tidak mungkin dikerjakan. Bisa juga hal ini berkaitan dengan bagaimana mengendalikan diri, mengevaluasi diri. Bahwa padangan tentang sesuatu yang ideal, sesuatu yang memenuhi setiap proporsi harus dilihat dari banyak sisi. Untuk menjadi ideal ataupun proporsional, yang rendah tidak harus susah payah mengejar yang tinggi, yang kurang menawan tidak harus bersusah payah memoles diri agar sejajar dengan yang menawan, yang miskin tidak harus hutang dan meminjam uang untuk mengidealkan diri dengan yang kaya, yang minoritas tidak harus menyeragamkan diri dengan yang mayoritas agar terlihat ideal. Atau yang sering kita lihat bahwa yang berbadan tambun tak harus diet ekstrim agar memiliki bentuk tubuh ideal. Karena ideal tak harus seperti itu

Selain itu, seperti halnya bahasa yang muncul dari hasil kesepakatan dalam satu komunitas yang tentu berbeda antara satu komunitas dengan yang lainnya, standar ideal juga muncul dari kesepakatan orang per orang terhadap sesuatu hal yang pasti berbeda antar satu kelompok dan kelompok lainnya.

Kamu pasti agak heran ketika membaca artikel tentang fenomena disebuah negara afrika dimana ke“seksi”an seorang pria akan bertambah ketika berperut tambun dan besar.
Astaga, sok mikir yang berat-berat aku ini. Anggap saja karena pengaruh tensimeter tadi.

Surat sudah ditangan, langsung pulang. Ada mendoan anget yang sudah dihidangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIBOLGA SQUARE...

Nono & Nini : Mitos Pecahnya Sebuah Gelas